Sabtu, Desember 31, 2011

31 Desember

Besok sudah nggak Desember lagi. Mulai besok sudah nggak ada tulisan 2011 di pojok kanan setiap catatan kecil saya di buku kuliah atau pun di kertas-kertas yang biasanya jadi korban kejahilan saya menuliskan apapun. Yaps besok tulisan itu sudah berganti jadi 2012.
Huh rasanya sentimentil sekali saya ya, :D seorang teman saya di facebook bilang
2011...2012...ah, itu kan cuma angka2
Hmm kalau dipikir secara gampang dan simple yah emang bener sih, tapi kalau di renungkan tetap saja ada yang terasa berbeda. Ada saat-saat yang tidak bisa diulang kembali, ada saat-saat yang begitu saja berlalu. sunyi, hilang dan tentu saja rindu.
yah tiba-tiba saya kehilangan kata-kata
*Happy new year..

Rabu, Desember 28, 2011

Ini Seperti Suasana Setelah Hujan

Senja ini kau temui aku dengan senyumanmu
Ah seharusnya aku senang melihatmu seperti itu
Hari ini kau mengisi seluruh ruang hatiku
Tapi mungkin tidak untuk besok
Tidak untuk lusa
Hari ini wangimu membayangi langkah perjalananku
Tapi esok wangi itu mungkin sudah tak kucium lagi
Sejukmu hari ini begitu mendekapku
erat seperti suasana setelah hujan
Tapi mungkin tidak esok
karena siapa yang tahu esok mentari membakar garang
Begitupun aku mungkin esok tak disini lagi
dan mungkin menemukan sosok baru yang mengisi ruang-ruang kosong ini
yang pasti kakiku tak henti melangkah
dan jika kau hanya diam
kau akan tertinggal jauh dibelakang
Meski jauh...jauh di relung jiwa ini
aku ingin kau tetap berjalan disampingku
Aku tak pernah ingin kau berharap padaku
pun aku juga tak boleh berharap banyak padamu


*Senja setelah hujan
disini tak ada bau tanah basah
hanya ada aspal bercampur debu. Basah.
@My
Office

Rabu, Desember 21, 2011

Saya, Ibu Saya dan tentang hari ini

Saya, adalah perempuan 20 tahun yang keras kepala, perempuan yang tidak ingin dikalahkan dengan laki-laki, and of course saya menyukai pemikiran-pemikiran feminis.
Ibu saya, perempuan yang pengalah, diam dan selalu berkata "ya" untuk saya. Apalagi menjelang saya dengan umur 20 ini. Sosok di ratusan kilometer sana, ia selalu berdoa untuk kebaikan saya. Tidak ada yang bisa saya lakukan untuk membalas semua yang pernah ia berikan kepada saya, setidaknya untuk saat ini, saya belum bisa memberikan sesuatu yang membanggakan untuknya.
Tapi di hari ini saya ingin sekali mengucapkan terimakasih kepadanya.
Terimakasih ibu, telah mengantarkan saya sampai garis dimana saya berdiri saat ini, tak akan pernah saya seberani ini tanpamu.
Happy Mother's day...

Senin, Desember 19, 2011

Must be smile in all condition..

Sepertinya ini senin malam yang tidak seperti dugaan saya. Why? saya harus melewati midnight di kantor malam ini, karena temen yang biasanya masuk malam sedang cuti dan yang tugas gantiin tadi sore kabar terakhir lagi kecelakaan. Hmm... of course me! yah siapa lagi yang akan menghandle kerjaan ini kalau nggak saya kan?
Kerjaan saya sebenarnya gampang-gampang susah sih, if u do that everyday this is easy. Namun yang jadi masalah utama di sini adalah tingkah laku penghuni kantor ini kalau menjelang dini hari ini yang bikin saya kadang harus legowo. Bayangin aja pas lagi saya konsentrasi ngedit foto yang udah ditunggu-tunggu sama yang lain, orang di depan saya muter lagu dangdut kenceng-kenceng dari komputernya,sementara jarak kami itu cuma dibatasi komputer masing-masing. Udah gitu lagunya itu lhooo, lagu yang ada mendesah-desahnya, gilaak saya bisa matang diperam kalau kayak gini :(
Itu belum seberapa sih, yang disamping saya malah dari mulai datang jam setengah 9 nan tadi sampai hampir midnight ini muter film upin ipin terus dari komputernya, entah udah berapa episode yang dia tonton. Parahnya lagi, speakernya ituuu pas disamping saya
Agak-agak ribut iya juga, pasalanya tv kanto yang LED 21 inchi dari tadi juga hidup keras-keras pula, posisinya itu juga pas di belakang saya, padahal saya yakin nggak ada yang menonton tuh tv.
And u know? disini hanya ada dua makhluk perempuan lho,saya sama satu redaktur senior. bleeh, but any something make me enjoy at here yaiyalah internetan free disini. Siapa yang nggak mau coba? :D. Tapi dibalik setiap apapun yang ada disekitarmu, nggak semuanya suck kok, in my blue office ini contohnya, disini meskipun makin malam makin pada gila, tapi saya suka kalau ada kegiatan makan malam rame-rame (hari ini menunya martabak durian :D).
So, dalam kondisi apapun saya selalu berusaha untuk *smile bahkan malam ini saya nggak cuma senyum-senyum kok, tapi malah bisa ketawa, yahh menertawakan pola hidup yang ahh entahlah...

Senin, Desember 12, 2011

Teori Kultivasi

Sebenarnya apa sih Teori Kultivasi itu? dan apakah hubungan nya dengan ilmu komunikasi? wah untuk lebih jelasnya langsung aja deh simak dibawah ini

Teori Kultivasi
Gagasan tentang cultivation theory atau teori kultivasi untuk pertama kalinya dikemukakan oleh George Gerbner bersama dengan rekan-rekannya di Annenberg School of Communication di Universitas Pannsylvania tahun 1969 dalam sebuah artikel berjudul the televition World of Violence. Artikel tersebut merupakan tulisan dalam buku bertajuk Mass Media and Violence yang disunting D. Lange, R. Baker dan S. Ball (eds).
Awalnya, Gerbner melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, Gerbner ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu. Jadi bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak”. Menurut Wood (2000) kata ‘cultivation’ sendiri merujuk pada proses kumulatif dimana televisi menamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya.
Teori kultivasi muncul dalam situasi ketika terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini efek media massa sangat kuat (powerfull effects model) dengan kelompok yang mempercayai keterbatasan efek media (limited effects model), dan juga perdebatan antara kelompok yang menganggap efek media massa bersifat langsung dengan kelompok efek media massa bersifat tidak langsung atau kumulatif. Teori kultivasi muncul untuk meneguhkan keyakinan orang, bahwa efek media massa lebih besifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran sosial-budaya ketimbang individual.
Menurut Signorielli dan Morgan (1990 dalam Griffin, 2004) analisis kultivasi merupakan tahap lanjutan dari paradigma penelitian tentang efek media, yang sebelumnya dilakukan oleh George Gerbner yaitu ‘cultural indicator’ yang menyelidiki:
a) Proses institusional dalam produksi isi media
b) Image (kesan) isi media
c) hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.
Teori kultivasi ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience, khususnya pada tema-tema kekerasan di televisi. Tetapi dalam perkembangannya, ia juga bisa digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan. Misalnya, seorang mahasiswa Amerika di sebuah universitas pernah mengadakan pengamatan tentang para pecandu opera sabun (heavy soap opera). Mereka, lebih memungkinkan melakukan affairs (menyeleweng), bercerai dan menggugurkan kandungan dari pada mereka yang bukan termasuk kecanduan opera sabun.
Gerbner bersama beberapa rekannya kemudian melanjutkan penelitian media massa tersebut dengan memfokuskan pada dampak media massa dalam kehidupan sehari-hari melalui Cultivation Analysis. Dari analisis tersebut diperoleh berbagai temuan yang menarik dan orisional yang kemudian banyak mengubah keyakinan orang tentang relasi antara televisi dan khalayaknya berikut berbagai efek yang menyertainya. Karena konteks penelitian ini dilakukan dalam kaitan merebaknya acara kekerasan di televisi dan meningkatnya angka kejahatan di masyarakat, maka temuan penelitian ini lebih terkait efek kekerasan di media televisi terhadap persepsi khalayaknya tentang dunia tempat mereka tinggal.
Salah satu temuan terpenting adalah bahwa penonton televisi dalam kategori berat (heavy viewers) mengembangkan keyakinan yang berlebihan tentang dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan. Sementara kekerasan yang mereka saksikan ditelevisi menanamkan ketakutan sosial (sosial paranoia) yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai tersebut antar anggota masyarakat, kemudian mengikatnya bersama-sama pula. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu menyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.
Asumsi/Esensi Teori
Secara keilmuan untuk menunjukan bahwa televisi sebagai media yang mempengaruhi pandangan kita terhadap realitas sosial, para peneliti cultivation analysis bergantung kepada empat tahap proses:
1. Message system analysis yang menganalisis isi program televisi.
2. Formulation of question about viewers’ sosial realities yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan seputar realitas sosial penonton televisi.
3. Survey the audience yaitu menanyakan kepada mereka seputar apa yang mereka konsumsi dari media.
4. Membandingkan realitas sosial antara penonton berat dan orang yang jarang menonton televisi.
Keempat tahap ini dapat disederhanakan menjadi dua jenis analisis:
1. Analisis isi (content analysis), yang mengidentifikasikan atau menentukan tema-tema utama yang disajikan oleh televisi.
2. Analisis khalayak (audience research), yang mencoba melihat pengaruh tema-tema tersebut pada penonton.
Langkah utama untuk menguji teori kultivasi dalam studi awal adalah menentukan kandungan isi televisi melalui analisis isi. Gerbner dan kawan-kawan mulai memetakan kandungan isi pada prime time dan program televisi bagi anak-anak diakhir pekan (weekend).
Di antara berbagai teori dampak media jangka panjang, cultivation analysis merupakan teori yang menonjol. Gerbner menyatakan bahwa televisi sebagai salah satu media modern, telah memperoleh tempat sedemikian rupa dan sedemikian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya.
Teori kultivasi melihat media massa sebagai agenda sosialisasi, dan menemukan bahwa penonton televisi dapat mempercayai apa yang ditampilkan oleh televisi berdasarkan seberapa banyak mereka menontonnya. Berdasarkan banyaknnya waktu yang dihabiskan untuk menonton, maka penonton televisi dikelompokkan dalam dua kategori yakni light viewer (penonton ringan dalam arti menonton rata-rata dua jam perhari atau kurang dan hanya tayangan tertentu) dan heavy viewer (penonton berat), menonton rata-rata empat jam perhari atau lebih dan tidak hanya tayangan tertentu.
Asumsi dasar teori ini adalah:
1. Televisi merupakan media yang unik.
Asumsi pertama menyatakan bahwa televisi merupakan media yang unik. Keunikan tersebut ditandai oleh karakteristik televisi yang bersifat:
a. Pervasive (menyebar dan hampir dimiliki seluruh keluarga)
b. Assesible (dapat diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain).
c. Coherent (mempersentasikan pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu).
2. Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial.
Jadi menurut asumsi ini, dunia nyata (real world) di sekitar penonton dipersamakan dengan dunia rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic world). Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa penonton mempersepsi apapun yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya. Namun teori ini tidak menggeneralisasi pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer (penonton berat).
Hasil pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Gerbner dan kawan-kawan bahkan kemudian menyatakan bahwa heavy viewer mempersepsi dunia ini sebagai tempat yang lebih kejam dan menakutkan (the mean and scray world) ketimbang kenyataan sebenarnya. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai “the mean world syndrome” (sindrom dunia kejam) yang merupakan sebentuk keyakinan bahwa dunia sebuah tempat yang berbahaya, sebuah tempat di mana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, sebuah tempat di mana banyak orang di sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri. Untuk itu orang harus berhati-hati menjaga diri. Pembedaan dan pembandingan antara heavy dan light viewer di sini dipengaruhi pula oleh latar belakang demografis di antara mereka.
3. Penonton ringan (light viewers) cenderung menggunakan jenis media dan sumber informasi yang lebih bervariasi (baik komunikasi bermedia maupun sumber personal), sementara penonton berat (heavy viewers) cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi mereka.
Asumsi ini menyatakan, kelompok penonton yang termasuk kategori berat, umumnya memiliki akses dan kepemilikan media yang lebih terbatas. Karena itu mereka mengandalkan televisi sebagai sumber informasi dan hiburan mereka. Karena keterpakuan pada satu media ini, membuat keragaman dan alternatif informasi yang mereka miliki menjadi terbatas. Itulah sebabnya kemudian mereka membentuk gambaran tentang dunia dalam pikirannya sebagaimana yang digambarkan televisi. Sebaliknya kelompok light viewers memiliki akses media yang lebih luas, sehingga sumber informasi mereka menjadi lebih variatif.
Menurut teori ini, media massa khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan perilaku penontonnya (behavior effect). Pengaruh tersebut tidak muncul seketika melainkan bersifat kumulatif dan tidak langsung. Inilah yang membedakan teori ini dengan The Hypodermic Needle Theory, atau sering juga disebut The Magic Bullet Theory, Agenda Setting Theory, Spiral Of Silence Theory.
Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa pengaruh yang muncul pada diri penonton merupakan tahap lanjut setelah media itu terlebih dahulu mengubah dan membentuk keyakinan-keyakinan tertentu pada diri mereka melalui berbabagai acara yang ditayangkan. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa teori ini lebih cenderung berbicara pengaruh televisi pada tingkat komunitas atau masyarakat secara keseluruhan dan bukan pada tingkat individual.
Secara implisit teori ini juga berpendapat bahwa pemirsa televisi bersifat heterogen dan terdiri dari individu-individu yang pasif yang tidak berinteraksi satu sama lain. Namun mereka memiliki pandangan yang sama terhadap realitas yang diciptakan media tersebut.
4. Terpaan pesan televisi yang terus menerus menyebabkan pesan tersebut diterima khalayak sebagai pandangan konsensus masyarakat.
Asumsi keempat teori ini menyatakan bahwa terpaan televisi yang intens dengan frekuensi yang kerap dan terus menerus membuat apa yang ada dalam pikiran penonton televisi sebangun dengan apa yang disajikan televisi. Karena alasan ini kemudian mereka menganggap bahwa apapun yang muncul di televisi sebagai gambaran kehidupan sebenarnya, gambaran kehidupan yang disepakati secara konsensual masyarakat. Dalam konteks ini berarti, bila penonton melihat orang sumpah pocong di televisi, atau melihat adegan ciuman di antara dua orang yang masih pacaran dalam sebuah sinetron maka penonton tersebut menganggap hal itu sesuatu hal yang lumrah saja yang menganggap kehidupan nyata di lingkungannya.

5. Televisi membentuk mainstreaming dan resonance.
Asumsi kelima ini menegaskan bahwa televisi membentuk mainstreaming dan resonace. Gerbner dan kawan-kawan memperkenalkan faktor-faktor mainstreaming dan resonance (Gerbner, Gross, Morgan dan Signorielli, 1980 dalam Griffin, 2004). Mainstreaming diartikan sebagai kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai pandangan di masyarakat tentang dunia di sekitar mereka (Tv stabilize and homogenize views within a society). Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan (bluring), kemudian membaurkan (blending) dan melenturkan (bending) perbedaan realitas yang beragam menjadi pandangan mainstream tersebut. Sedangkan resonance mengimplikasikan pengaruh pesan media dalam persepsi realita dikuatkan ketika apa yang dilihat orang di televisi adalah apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata.
6. Perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi
Asumsi terakhir menyatakan bahwa perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi. Asumsi ini diajukan Gerbner pada tahun 1990 setelah menyaksikan perkembangan teknologi komunikasi yang luar biasa. Asumsi ini mengandung keyakinan bahwa teknologi pendukung tidak akan mengurangi dampak televisi sebagai sebuah media, malahan pada kanyataannya akan meneguhkan dan memperkuat.
Bukti utama asumsi cultivation analysis berasal dari analisis isi pesan televisi Amerika secara sistematis. Analisis itu dilakukan selama beberapa tahun dan menunjukan distorsi realitas yang konsisten dalam hubungannya dengan keluarga, pekerjaan dan peran, usia lanjut, mati dan kematian,pendidikan,kekerasan dan kejahatan. Isu ini memberikan pelajaran tentang hal-hal yang diharapkan dari kehidupan bukanlah pesan yang membesarkan hati, khususnya bagi si miskin, kaum wanita dan minoritas rasial.
Jadi, meskipun televisi bukanlah satu-satunya sarana yang membentuk pandangan kita tentang dunia, televisi merupakan salah satu media yang paling ampuh, terutama bila kontak dengan televisi yang sangat sering dan berlangsung dalam waktu lama.
Aplikasi Teori
Teori kultivasi sering digunakan untuk menganalisis berbagai bentuk praktik komunikasi, terutama komunikasi massa khususnya televise dan dikenal dengan cultivation analysis. Berikut beberapa contoh aplikasi teori kultivasi:
Nancy Signorielli (Littlejohn, 1996) melaporkan studi tentang sindrom dunia kejam. Pada aksi kekerasan di program televisi bagi anak, lebih dari 2000 program termasuk 6000 karakter utama selama prime time dan akhir pekan (weekend) dari tahun 1967-1985, menganalisis dengan hasil yang menarik, 70% prime time dan 94% akhir pekan (weekend) termasuk aksi kekerasan. Analisis ini membuktikan heavy viewers memandang dunia muram dan kejam dibandingkan dengan orang yang jarang menonton televisi. Tidak salah jika kemudian Gerbner dan kawan-kawan melaporkan bahwa heavy viewers melihat dunia lebih kejam dan menakutkan seperti yang ditampilkan televisi dari pada orang-orang yang jarang menonton.
Contoh yang lain, para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Misalnya, tentang perilaku kekerasan yang terjadi di masyarakat. Para pecandu berat televisi akan mengatakan sebab utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang ditonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif sosial sebagai alasan melakukan kekerasan). Pada hal bisa jadi sebab utama itu lebih karena keterkejutan budaya (cultural shock) dari tradisional ke kehidupan modern.
Teori kultivasi berpendapat bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan. Sebagai contoh pencandu berat televisi menyatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi korban kejahatan adalah 1 berbading 10. Dalam kenyataan angkanya adalah 1 berbanding 50. Pecandu berat televisi mengira bahwa 20% dari total penduduk dunia berdiam diri di Amerika. Kenyataannya hanya 6%. Pecandu berat percaya bahwa persentase karyawan dalam posisi manajerial atau professional adalah 25%. Kenyataannya hanya 5%. Bagi pecandu berat televisi, apa yang terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya.
Pada kateori aplikasi teori kultivasi dalam kaca mata kekerasan, Gerbner juga berpendapat bahwa gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan, alih-alih perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan itu merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi, seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi yang terjadi sebenarnya juga demikian. Jadi, kekerasan yang ditayangkan di televisi dianggap sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang biasa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang dipertontonkan di televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini.
Demikian sekelumit contoh-contoh aplikasi teori kultivasi. Teori kultivasi sebenarnya menawarkan kasus yang sangat masuk akal, khususnya dalam tekannya pada kepentingan televisi sebagai media dan fungsi simbolik di dalam konteks budaya. Akan tetapi, teori ini tidak lepas dari sasaran kritik. Gerbner telah dikritik karena terlalu menyederhanakan permasalahan. Perilaku kita boleh jadi tidak hanya dipengaruhi oleh televisi, tetapi oleh banyak media yang lain, pengalaman langsung, orang lain yang berhubungan dengan kita dan sebagainya.
Walhasil, walau banyak kritik terhadap teori ini, namun demikian dalam kenyataannya teori ini memang dapat kita lihat pada masyarakat, terutama pada anak-anak. Anak sebagai penonton, masih mudah dipangaruhi oleh pesan-pesan yang disajikan televisi.
*****
DAFTAR PUSTAKA
Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Malang: Cespur.
http://rthadi.blogspot.com/2008/02/cultivation-theory-dalam-kajian-dan.html
http://komunikasimassa-umy.blogspot.com/2005/06/teori-hasil-kebudayaan.htmlhttp://wsmulyana.wordpress.com/2009/01/09/teori-kultivasi/

Ini Desember kan yah?

Desember, geleng-geleng kepala ketika melihat kalender. Spechless banget rasanya, 2011 hampir berakhir sementara resolusi saya tahun ini acakadut banget, hanya sepersekian persen yang tercapai.(*maaf sepertinya ini jadi session curhatan saya deh). Bener, saya kecewa, saya punya banyak mimpi tapi kok minim sekali berusaha. Misalnya saya pengen nabung buat ke pulau Jawa, tapi karena saya pada akhirnya tahu, tahun ini saya belum dapat cuti dari kantor tempat kerja, saya jadi boros. Saya jadi EGP dan suliiiiit banget buat nabung.
Resolusi lainnya, saya mau serius ngelancarin english speak tapi juga manaaa? mana pembuktiannya, udah bela-belain daftar kursus di L*A hanya gara2 permasalahan sepele saya jadi gak lanjutin. Eh sebenarnya bukan sepele sih, lha wong siswanya yang seangkatan saya itu cuma segelintir gitu, enam orang kalo gak salah, dan kayaknya mereka pada ngambil jadwal malam gitu, nah saya? saya kan ga bisa kalo kursusnya malam, secara malam kan saya harus peras keringat buat kerja(*ngawur deh ya, dikantor saya itu pake ac kok :D)
Trus resolusi saya yang lain untuk kontinu menulis dan bisa diterbitkan di beberapa media juga gak saya realisasikan, malah rasa malas semakin menjadi-jadi, huhuhhu sumpah,saya sebenarnya malu lho kyak gini.Jadi orang yang tidak produktif sekali.
Dan di penghujung tahun yang tinggal hitungan jari ini(*jari tangan ditambah jari kaki)berharap banget punya semangat to be creative dan menciptakan hal-hal yang bermanfaat gitu. Eh salah satunya mungkin dengan menuntaskan semua tugas-tugas kuliah ini ya, mulai dari Proposal penelitian, Revisi Shoot film pendek, ngedit hasil shoot itu, trus ngerjain film dokumenter(yang sinopsisnya aja bahkan belum saya tulis).
Rasau Hijau