Senin, September 27, 2010

cerpen :Diujung Kebencian

Egois..., dia mematahkan argumenku sebelum aku mengeluarkannya dari kepalaku. Dia menolak lagi karya fotografiku hanya gara-gara tidak ada objek manusianya disana. Menyebalkan foto-foto ku selalu ditolaknya. Kadang-kadang tak habis pikir, alasannya untuk menolak foto-foto tersebut kadang sangat tidak masuk akal. Kemarin dia bilang fotoku sudah bagus tetapi ditolak hanya karena objek manusia di foto tersebut tidak menutup hidung,aneh kan? Masa’ sih aku harus merekayasa sebuah karya,lalu dimana letak alami yang selama ini dia anjurkan. Entah lah sejak awal dia masuk aku sudah merasa bahwa pemikiranku akan sangat berbeda dengannya. Menyesal sekali aku telah memberikan nilai plus padanya sebagai dosen di pengisian angket kemarin, ternyata dia sangat mengecewakan. Ujian tinggal seminggu lagi sementara foto yang seharusnya dibuat portofolio sebanyak 5 karya, baru kumiliki satu. Kapan aku harus hunting lagi, sementara puluhan foto yang kusodorkan padanya selalu ditolak dengan alasan yang dibuat-buat.
“ Seharusnya kalau kamu mengambil tema lingkungan harus ada manusia nya disana, karena lingkungan diciptakan dari manusia oleh manusia dan untuk manusia itu sendiri, jadi sangat demokratis kan,dan jika seandainya ada objek kucing atau anjing foto itu tetap saja tidak jadi menarik karena tidak ada manusinya”, ucapnya. Aku memandangnya nanar, bisa-bisa nya dia berpendapat seperti itu. Egois sekali dia pikir hanya manusia saja apa yang diizinkan hidup di dunia ini, lalu dimana hewan-hewan dan tumbuhan harus hidup, benar-benar tak punya perasaan.
“Rara! Kamu punya argumen untuk membantah atau meyakinkan saya?” tanyanya.
Aku menggeleng, dia memintaku berargumen dan mempertahankan pendapatku tentang karya foto ini? Aku menggeleng semakin kuat, bukankah tadi aku telah menjelaskan deskripsi foto tersebut beserta dampak-dampak dari keadaan didalam foto tersebut.
Whatever…kataku dalam hati, terserah kamu mau bilang apa!
“Oke, kalau kamu tidak ingin berkomentar, silahkan giliran yang lain”, dia memandangku dengan senyum meremehkan.
Secepatnya aku mencabut flashdisc dari laptopnya dan berlalu meninggalkan mejanya. Persetan aku sangat muak melihatmu sok jumawa teriak suara hatiku.
“Oke,wah bagus sekali kamu selalu bisa membuat saya terkesan, karyamu diterima…”, dia kembali berbicara di depan kelas, hingga membuatku mendongakkan kepala setelah sibuk mengirimkan sms kepada Tya tentang kejadian yang membuat darahku naik ke ubun-ubun di kelas fotografiku.
Di depan kelas kulihat Ali tersenyum puas. Disebelahnya kulihat dia menepuk-nepuk pundak Ali. Kulirik layar monitor besar di depan kelas, ada empat buah foto milik Ali yang telah diterima. Sementara aku baru satu buah dan ujian tinggal minggu depan.
Beberapa menit setelah Ali selesai presentasi kelas usai. Bergegas kutinggalkan kelas dengan perasaan yang bercampur aduk, aku marah,kecewa, dan muak dengan nya. Tak peduli dengan Robert yang mensejajari langkahku.
“Seharusnya kamu protes sama dia kalau keputusannya tak bisa kamu terima”, Robert berhasil berjalan di sampingku.
Aku menatapnya dan menghembuskan nafas beratku tepat di wajahnya.
“Kamu pikir, aku bisa mengubah keputusannya? Aku hanya akan buang-buang energi, kamu tahu kan aku selalu mempertahankan pendapatku selama ini,dan apa hasilnya? Tak ada! Dia malah semakin mempersulit dan menganggap aku siswanya yang paling tak bisa diatur”, setengah berteriak aku meluapkan semua rasa kecewaku.
“ Sabar Ra, mungkin kamu harus mencoba lagi…” Robert meninggalkanku menuju ruang BEM.
Aku mengangkat bahu dan tetap berjalan menuju parkiran. Pasti,aku pasti mengulang, kan itu yang sebenarnya di inginkannya, dia ingin menunjukkan betapa berkuasanya dia, dan bahkan seorang Rara pun tak mampu menaklukkannya.

Aku sampai di kost dan menghempaskan tubuhku di kursi plastik yang ada diberanda bu kostku. Aku masih ingat sekali, dulu kami begitu dekat, bukan kedekatan mahasiswa dengan dosennya, tapi lebih dari itu. Seperti dua orang sahabat yang saling melengkapi,walaupun pada dasarnya kami mempunyai banyak pendapat yang berbeda,tapi selama itu kami bisa mengatasi semua perbedaan, masih segar dalam ingatanku ketika kami berdua mendiskusikan tema dan tata letak sebuah majalah promosi milik pemerintah yang kami kelola bersama. Kami selalu mendiskusikannya dengan penuh semangat, di kantornya, di rumahnya,di pustaka wilayah atau di kampus jika ada waktu senggang. Kedekatan nya dengan ku membuat kecemburuan banyak siswa,bahkan Tya sahabatku di Mapala pernah protes padaku karena aku jarang berkumpul lagi dengan mereka.
“Ra, minggu besok kita mau mengadakan acara sanitasi air, kamu kok jarang ikut rapat, padahal kamu tim kreatif di Mapala,” Tya menginterogasiku suatu sore dirapat harian Mahasiswa Pecinta Alam kampusku.
“Ya,maaf Tya aku masih sibuk mengurusi majalahku, aku janji deh akan membagi waktuku biar bisa datang ke rapat Mapala,” aku mencoba meyakinkan Tya.
Sampai akhirnya majalah yang kami kelola hampir dicetak, tentu saja aku senang, itulah kali pertama aku menjadi layouter di sebuah majalah. Bayangkan, seorang Rara Saraswati berasal dari SMA di sebuah desa kecil Indragiri berhasil masuk dalam keredaksian sebuah majalah promosi milik pemerintah. Dan itu semua atas rekomendasi dia. Seseorang yang tanpa sengaja menemukan aku di sebuah kompetisi desain grafis yang diadakan media massa tempatnya bekerja sebagai kabag fotografi.
“ Saya lihat hasil desain kamu bagus, apakah kamu bersedia bergabung dengan majalah milik media kami. Kami sedang membutuhkan seorang layouter”, sapanya, setelah usai penjurian.
“ Tapi karya saya kan bukan yang terbaik…” protesku
“Percayalah kamu akan menjadi lebih baik jika sudah benar-benar terjun ke dunia kerja,” ungkapnya meyakinkanku.
Akhirnya aku menyetujui dan bergabung dengan majalah promosi tersebut. Dan yang lebih mengejutkan ternyata dia dosen fotografi di kelas komunikasiku. Dia dosen baru menggantikan pak Har, dosen fotografi yang harus tugas belajar di Eropa. Dan hari-hariku nyaris sempurna, dengan dosen yang bersahabat, teman-teman kampus yang baik, serta teman-teman di Mapala yang pengertian. Sampai suatu ketika…
“ Ra, majalah kita sudah selesai cetak, tapi pay kamu belum keluar…” ungkapnya suatu hari ketika bertemu denganku dikampus.
“Oh ya…kenapa?” tanyaku.
“ Karena redaksi banyak yang kecewa dengan hasil kerja kamu, sepertinya masih kurang optimal, jadi mereka masih memikirkan berapa pay yang akan kamu terima…” jawabnya.
Aku memandangnya tak mengerti. Mengapa baru bicara sekarang kalau kerjaku tak memuaskan?
Aku hampir saja mengungkapkan rasa tak percayaku.
“Wah saya tidak bisa lama-lama dikampus, ada yang harus dikerjakan dikantor, Rara, edisi selanjutnya sedang dilengkapi foto dan beritanya, nanti kalau sudah mau di layout saya kabari saja kamu,” Dia seperti terburu-buru mengemasi ransel dan kamera digital SLR nya.
“Jadi saya yang akan mengerjakan edisi berikutnya?” tanya ku tak mengerti.
Dia mengangguk.
“Tapi…”
Dia sudah pergi dan tak melihat ekspresi wajahku. Aku mengangkat bahu. Apa sih maksudnya?
***
Hari- hari berikutnya seolah tak pernah terjadi apa-apa antara aku dan dia, dia tetap mengajar fotografi dan aku tetap menjadi siswanya yang paling rajin. Tapi ada yang berubah, dia semakin acuh padaku. Dan ketika aku mengajukan pengunduran diri dari tim keredaksian majalah promosi tersebut dia terlihat sangat marah.
“ kamu benar-benar tidak punya komitmen dalam pekerjaan…” ujarnya.
“Maaf pak, saya sibuk akir-akhir ini karena kegiatan Mapala, lagipula Bapak bisa mencari orang yang lebih berdedikasi daripada saya,” aku\memberanikan diri mengungkapkan alasanku. Selama ini aku telah menganggapnya sebagai sahabatku tetapi ternyata dia mencari-cari alasan untuk mengambil keuntungan dariku.
Ya, aku tahu semuanya, aku berhasil mendapatkan informasi bahwa majalah promosi itu mendapatkan dana yang besar dari pemerintah, dan pimpinan redaksi saja mengaku bahwa ia puas melihat hasil kerjaku. Tapi mengapa ia membohongiku?

“huh…”, aku menghempaskan nafas berat.
“ Sudah hampir satu jam aku melamun di beranda, kulirik jam di layar handphoneku. My God aku telat untuk pergi ke rapat Mapala. Menyesal tadi tidak langsung saja ke base camp selesai kuliah fotografi tadi.Dengan terburu-buru aku kembali lagi ke kampus dan mendapati rapat sudah dimulai beberapa menit yang lalu.
“Rara kamu terlambat…” ucap Tya.
Aku hanya mengangguk dan ,mengambil tempat duduk di basecamp. Bersiap menyumbangkan ide untuk kegiatan gotong royong massal dengan masyarakat disekitar kampus.
Usai rapat, aku masih didalam basecamp ketika Tya memanggilku untuk keluar.
“Ada yang ingin bertemu kamu Ra,” ucapnya.
“Siapa?” balasku
“Dosen Fotografi kamu…”
“Katakan aku sedang sibuk”
“ Lho kamu kan nggak sedang ngerjain apa-apa”, Tya memandangku dengan heran.
“Sampaikan saja apa kataku padanya,”
Senja telah hampir berganti dengan malam. Aku mengemasi barang-barangku, karena aku tak berniat untuk menginap di basecamp. Lagipula semua anak-anak telah pulang meninggalkan aku yang masih berkutat dengan komputer untuk mendesain spanduk acara. Ku pikir daripada aku bengong sambil menunggu orang yang ingin bertemu denganku,lebih baik aku melakukan sesuati yang berguna.Ku kunci basecamp dan beranjak dari pintu untuk menitipkan kuncinya kepada penjaga kampus. Tiba-tiba sebuah suara memanggilku.
“ Ra, aku minta maaf…”
Aku terkejut dan menoleh pada suara tersebut. Aku seperti tersengat listrik melihatnya masih menungguku hingga aku keluar dari basecamp.
“Seharusnya kita tak perlu bermusuhan seperti ini, aku tahu kamu tadi pasti sangat marah sekali padaku, maafkan aku Ra, sepertinya aku harus jujur padamu, dan menjelaskan semuanya…”
Aku semakin tak mengerti,aku marah padanya? Itu sudah pasti, tapi kalau dia mau jujur, jujur tentang apa,bukankah sudah jelas kalau aku tidak mendapatkan fee apa-apa dari kerjaku dimajalah promosi itu, dan aku sudah tak mempermasalahkannya.
“Jujur? Tentang apa?” kataku ragu, ah…dia kembali berkata “aku kamu” seperti ketika kami masih dekat.
“Aku mencintaimu Ra…dan aku mencoba mengenyahkan semua perasaanku dengan berbagai cara,salah satunya dengan membuatmu membenciku, karena aku tak ingin mengecewakan Tania, tunanganku,” Dia mengatakannya dengan pelan.
Kembali aku seperti tersengat listrik untuk yang kedua kalinya. Bahkan kali ini lebih dahsyat,sehingga nyaris membuatku limbung.
Tapi…”,
“Dan ternyata aku tak mampu menjauh dari kamu, perasaanku tetap memilihmu,bahkan aku memutuskan pertunanganku dengan Tania,” lanjutnya.
Apa-apaan ini apa dia sudah tidak waras batinku.
“Maaf saya buru-buru…”kataku sambil berlari meninggalkannya.
Dia menatapku hampa dan aku tak peduli. Sepanjang perjalanan pulang aku digayuti rasa tak percaya, huh jadi itu alasannya selama ini dia selalu membuatku marah, lalu tentang tunangannya? Aku tertawa geli mengingatnya.
Amrizal Fahri, dia masih sangat muda untuk ukuran seorang dosen, Baru setahun yang lalu lulus sebuah Institut Seni di Jogjakarta, lalu kembali ke Pekanbaru untuk mendarmabaktikan ilmunya, tapi yang ada malah jatuh cinta padaku.


Asrul Rahmawati
#pppeepp aku sudah mengirimkan cerpen ini ke sebuah majalah tapi nggak dimuat,hmm menyebalkan,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo mampir

Rasau Hijau