Sabtu, Oktober 09, 2010

cerpen : Bicara pada Bintang

“Mencintai dan dicintai seperti merasakan kehangatan matahari dari dua sisi. Cintaku padamu akan memberimu kekuatan dan cintamu padaku akan memberimu keberanian”, kau meyakinkanku di pelabuhan sungai Gangsal.
Aku memandangmu tak yakin, mataku terpaku pada sungai didepanku. Beberapa tahun silam sungai ini tak selebar sekarang.
“Jadi untuk mengatakan itu, kau mengajakku kemari?,” tanyaku
Kau mengangguk, dan mencoba meraih telapak tanganku.
“Kalau begitu kau salah, aku tak pernah sedikitpun mencintaimu…”, lanjutku.
Matamu takjub memandangku, kemudian samar kulihat senyum dibibirmu.
“Kau bohong Ra, kau tak bisa menyembunyikan perasaan itu dariku”, kau memandangku lekat.
“Terserah, pendapatmu bagaimana, cinta ini hanya akan sia-sia,” aku balas menatapmu.
“Ternyata pemikiranmu sama saja dengan mereka…”, kau menghempaskan nafas,kecewa.
Aku meninggalkan mu sendiri di pelabuhan, menolak kau antar pulang. Berjalan kaki menyusuri jalanan setapak menuju rumahku.
Di depan rumah langkahku terhenti, tertegun memandangi bangunan kayu, rumahku yang masih berbentuk kuno. Rumah panggung dengan tangga kayu, saat membangunnya mungkin tak seorangpun yang mengenal arsitektur. Asal jadi dan asal bisa dijadikan tempat berteduh dari panas dan hujan.
“Ada apa Ra,?” Ayah menegurku.
Aku tersenyum lalu menggelengkan kepala. Langkahku kubuat seriang mungkin. Siapapun dikampung ini tahu aku jarang terlihat sedih. Ku tolak ajakan makan siang Ayah dan Ibu begitu juga bujukan Fahri adik semata wayangku yang masih SD. Ku buka pintu kamarku, bahkan tidak ada kasur tipis pun disana, yang ada hanya lantai kayu beralas tikar pandan. Dan aku terbiasa tidur disana. Ku pandangi pucuk-pucuk kelapa dari dalam kamarku, aku tertawa sendiri. Mengapa aku harus menyesali semua ini, dari dulu semua seperti ini dan selalu baik-baik saja mengapa sekarang harus disesali batinku.
***
Itu dulu…dulu sekali, ketika aku masih mengenal dunia ini hanya dari sudut-sudut kampungku. Sebelum akhirnya kau pergi meninggalkan kampung untuk melanjutkan pendidikan, aku tidak begitu peduli padamu waktu itu, yang kutahu orang tuamu sibuk membicarakanmu dimana-mana, bahwa kau kuliah di Malang dan kelak jadi dokter. Lalu seperti kau, aku pun pergi meninggalkan kampung, meninggalkan pelabuhan sungai Gangsal, tempat aku menghabiskan waktu memandangi burung-burung laut yang singgah ke sungai kecil di kampung kita. Menghabiskan waktu disana dan sesekali memimpikan kau menemaniku memandangi senja jingga membias dilangit.
Aku pun pergi, meski tak ingin menjadi dokter sepertimu, aku pun melanjutkan kuliah di fakultas Psiklologi sebuah universitas negeri di Pekanbaru meski ibu berderai-derai airmatanya ketika melepasku dan Ayahku yang tangguh tak pernah meneteskan air mata itu memandangku dengan kelu. Ayah sudah mengatakan padaku berulang kali beliau tak punya dana yang cukup untuk kuliah ku sampai selesai.
“Rara sudah besar Yah, sudah saatnya Rara mampu membiayai hidup Rara sendiri, Rara janji semua akan baik-baik saja,” aku meyakinkan Ayah.
Dan orang-orang terkasihku itu melepasku, meski dengan cibiran beberapa orang di kampung, termasuk keluargamu menertawakan aku.
“Anak-anak sekarang sudah tidak mau memandang kenyataan, maunya bermimpi setinggi gunung, kasihan sekali, untung anak ku tidak mempunyai keinginan nekat seperti itu,” ucap Ayahmu menyindirku.
Sebagai orang bawahan ayahmu, keluargaku banyak dibantu oleh ayahmu tapi tidak untuk kepergianku. Aku bangga pada Ayah, beliau menolak bantuan uang dari ayahmu. Lalu aku pun bisa pergi dengan lega tanpa hutang budi dengan ayahmu yang tauke kopra di kampung kita.
“Melamun lagi Ra, kehabisan ide buat nulis?, Melli teman satu kost ku, mengagetkankan lamunanku. Segera kuteguk cappuccino hangatku.
“Eh gimana ending cerbungmu,?” tanya Melli lalu ikut duduk di beranda kost. Aku mengangkat bahuku.
“Ideku terhenti,” jawabku. Melli tertawa memandangku, dia menggelengkan kepala sambil memegangi perutnya. Aku memandangnya heran.
“Nggak mungkin seorang Rara kehabisan ide,” Melli masih tertawa.
“Aku serius Mel, padahal ending cerbung itu deadline nya besok siang, kak Mita udah berkali-kali mengingatkan aku untuk menyelesaikan cerbung itu…”, aku menatap jalanan depan kost yang hanya diterangi neon lima watt dengan kecut mengingat sms-sms atau telpon redakturku.
“Wah, malam ini berarti harus selesai Ra atau Majalah Gress nggak akan menerimamu lagi untuk nulis disana, ayo semangat ra!” Melli menatapku dengan wajah serius lalu pergi meninggalkanku sendirian di beranda.
Aku ngeri mendengar kata-kata Melli, majalah Gress mempunyai oplah yang besar,dan honor tulisanku juga paling besar disana, apalagi untuk nulis cerbung pesanan seperti itu. Wah, padahal uang kuliahku semester ini belum kubayar, sedangkan sekarang aku sudah tidak kerja paruh waktu lagi di restoran. Kembali aku memandangi jalanan yang remang-remang di depan kost, lalu perlahan aku mengalihkan pandanganku kelangit. Langit mendung sepertinya sebentar lagi hujan turun. Tapi tunggu dulu, ada satu bintang kecil yang berpendar redup, hampir tertutup awan gelap.
“ Bicaralah pada bintang jika kau rindu padaku, maka aku akan merasakannya,” ucap mu suatu senja mulai berbintang menemani perjalanan kita pulang dari pelabuhan Gangsal.
Aku menggigit bibirku, kupandangi bintang redup dilangit yang makin pekat. Masihkah ucapanmu itu berlaku padaku saat ini, aku sudah lama sekali mencoba membunuh cintaku padamu, mencoba melupakan perasaanmu padaku. Aku tak pernah peduli lagi padamu, apalagi kau sekarang jauh dariku, kudengar dari Fahri,adikku yang mendapat beasiswa sekolah di Malang, kau kuliah lagi melanjutkan S2, kebetulan sekolah adikku dekat dengan kampusmu, Fahri bilang kau sekarang adalah seorang dokter dan bertunangan dengan teman seprofesimu juga. Lalu salahkah jika aku berusaha melupakan semua masa lalu itu. Walaupun jika boleh jujur aku tak kan pernah berhasil membunuh cinta itu, aku tak sanggup.
“Bintang di langit,aku rindu padanya…”, bisikku, air mata tiba-tiba bergulir pelan di pipiku. Aku tak pernah menangis karena tak ingin dianggap cengeng, tapi tidak untuk kali ini, aku tak pernah merasa cengeng karena menangis untukmu. Aku terlalu angkuh selama ini, kau sudah berkali-kali meyakinkanku jika perbedaan antara kita suatu saat tak akan jadi penghalang lagi, tapi aku menyerah, aku diam saat kau pergi, aku tak peduli lagi saat kau tak ada di pelabuhan Gangsal lagi bersamaku. Aku tak pernah membalas surat-suratmu, bahkan saat aku sudah kuliah pun dan kau mengirimkan sms berkali-kali tak pernah kubalas. Hingga akhirnya aku tahu kau bosan, mungkin juga telah menyerah, atau kau percaya jika aku tak pernah sedikitpun mencintaimu. Padahal setiap membaca sms darimu aku merasa bahagia sekali, kau tidak pernah tahu jika aku menutup hatiku untuk orang lain. Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu.
“Bintang di langit yang redup, katakan padanya sampai kapan pun hanya dia yang pernah ada di hatiku,” ucapku lagi. Aku tersenyum dan bergegas masuk ke kamar kost ku, tiba-tiba aku punya ide bagus untuk ending cerbungku.
***
“Wah, aku suka endingnya Ra, tak terduga tapi memuaskan pembaca,” kak Mita tersenyum puas membaca ending cerber ku.
Aku bersyukur kak Mita menyukainya, dengan pasti aku keluar dari kantor majalah Gress, besok aku bisa membayar uang kuliahku, dan melunasi janjiku untuk mentraktir bakso Melli.
“Sebenarnya seperti apa sih ending nya Ra, kok kak Mita bisa kasih bonus segala buat kamu,” tanya melli.
“ Seperti ending yang kuharapkan di kisah cintaku,” jawabku pelan.
“Jadi? Kamu punya pacar Ra, siapa? Kok nggak pernah dikenalin sama aku sih!” Melli terkejut mendengar kata-kataku. Aku tersenyum melihatnya.
“Hanya seseorang dari masa lalu,” ucapku pelan, dan aku mulai sibuk melahap bakso ku. Melli masih juga penasaran. Tapi aku tak ingin menceritakan kisah kita, pada Melli sekalipun, karena aku tahu Melli pasti hanya akan menyalahkanku yang bodoh dan pura-pura tak mencintaimu.
Senja kembali menyapa, aku sedang berada di tepi sungai. Meski bukan di tepi sungai Gangsal, tapi tepian sungai Siak, membuatku teringat dengan tepian sungai Gangsal, bedanya, disini tak ada kapal-kapal yang mengangkut kopra atau speed boat yang hilir mudik. Senja makin indah dengan semburatnya yang jingga.
“Ku pasrahkan cintaku pada waktu, andai nanti ada kesempatan kedua untuk bersamamu, aku tak akan menyia-nyiakan lagi namun jika kesempatan itu tak ada, biarkan saja kebersamaan kita jadi kenangan yang mungkin tak kan terlupa, dan biarkan bintang menjadi saksi bahwa aku pernah sangat merindukanmu,” bisikku.
(The End)

Wah cerpen ini masih Gress banget lho,masih baru,baru selesai aku tulis beberapa jam yang lalu.Belum ku kirim ke media manapun, hmm aku harap cerpen ini bisa dimuat di sebuah media yang oke,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo mampir

Rasau Hijau